Rabu, 01 November 2017

Sekolah Itu Candu (Roem Topatimasang)




Sekolah Itu Candu, sebenarnya lebih mengingatkan saya kepada kata – kata sakti Marx ; Agama itu Candu (stop sampai disini :D). Meskipun tipis, buku ini mengulas banyak hal tentang sekolah, baik sejarah sekolah, contoh – contoh sekolah dan makna sekolah itu sendiri. Dimulai dari kata sekolah yang secara harfiah berasal dari bahasa Latin schule; yang artinya waktu luang. Pada awalnya orang - orang yang telah mendahului kita (Yunani Kuno) mengisi waktu luang dengan mendatangi suatu tempat atau orang pandai tertentu  untuk bertanya atau mempelajari sesuatu, yang kemudian kegiatan itu disebut dengan schole ; sekolah.

Bukan bab, buku ini terbagi menjadi 14 bagian yang memiliki cerita dan makna yang berbeda, mulai dari perubahan sekolah yang lambat laun menjadi tersekat dan berjenjang, pergeseran orientasi dunia pendidikan/sekolah (lewat komersialisasi), sampai kepada politisasi pendidikan. Akibatnya sekolah justru menjauhkan kita dari ruang hidup kita (kampung/tanah air) dan membutakan kita dari dunia (kenyataan) yang sebenarnya.

Misalnya pada bagian 8 “Robohnya Sekolah Rakyat Kami”, bagian ini menceritakan tentang sekolah rakyat yang terletak di ujung utara kaki pegunungan latimojong, Sulawesi Selatan pada tahun 1983. Pada awalnya, bangunan sekolah tersebut berbentuk setengah melingkar mirip letter U dengan lapangan luas ditengahnya. Lantai bangunannya terbuat dari campuran semen - pasir, berdinding papan, separuhnya lagi anyaman kulit pelepah sagu, dan beratap daun sagu yang telah dianyam. Setiap hari sabtu (Hari Krida)  anak – anak akan kerja bakti untuk memotong rumput, menanami kebun, membersihkan selokan, memperbaiki pagar dan sebagainya.

Tiap empat bulan sekali (kuartalan) sehabis ujian anak – anak, guru dan para orang tua akan masuk ke hutan untuk mengumpulkan kayu, pelepah sagu dan daun sagu untuk dianyam. Dinding dan atap bangunan sekolah dibongkar dan diganti dengan yang baru. Semuanya dilakukan secara gotong royong dan bergiliran. Begitupun ketika masa panen raya tiba (tiap enam bulan sekali) baik panen jagung maupun padi sawah/ladang, anak – anak akan disebar oleh sekolah ke ladang, kebun dan sawah penduduk untuk membantu pemanenan. Hasilnya ya untuk anak – anak itu sendiri, dan terkadang sekolah mendapatkan sedikit sumbangan dari pemilik lahan yang nantinya akan digunakan ketika ada acara rekreasi sekolah.

Beberapa tahun kemudian, sekolah itu dirobohkan berganti dengan gedung sekolah permanen. Anak – anak pun mulai menggunakan seragam sekolah, bersepatu kulit, dan menggunakan alat tulis yang semuanya bikinan pabrik bukan lagi batu – tulis yang diasah sendiri. Hari Krida ditiadakan karena sudah ada tukang sapu-kebun yang diupah sekolah, musim panen diganti dengan kegiatan kepramukaan.

Seperti kata Freire, pendidikan/sekolah menjadi alat yang ampuh untuk menciptakan apa yang disebut “disinherited masses” atau khalayak yang tercerabut dari akarnya. Yang pada akhirnya pendidikan/sekolah menjadi milik dan alat kekuatan raksasa dengan label pembangunan dan modernisasi. Sekolah bukan hanya mengajarkan bagaimana merampok habis sumber daya kebendaan komunal yang dimiliki dan sudah berabad dilestarikan tetapi juga mengajarkan bagaimana menjarah sumberdaya kerohanian pribadi dan kolektif orang – orang kampung (baik itu pikiran, perasaan, martabat, kesadaran maupun harga diri mereka)!

Meskipun ditulis pada tahun 80 - 90an, buku ini masih sangat relevan untuk dibaca sebagai bahan renungan dan refleksi terkait dunia pendidikan terutama institusi sekolah yang belakangan menjadi salah satu tolak ukur dalam kehidupan. Apakah kita benar – benar membutuhkan sekolah?

Akhir kata, Harap Maklum menjadi pembuka yang unik dari Pak Toto Rahardjo.

Senin, 10 Juli 2017

Nyolo Sehari


Stasiun Balapan..
Mendengar kata ini aku langsung teringat dengan lagu dangdut yang dibawakan Soimah..
Tp untung tidak sambil joget..
Yup, Solo..
Solo seperti kota kecil, tenang, dan tentrem. Masih berjudul keraton, Solo bisa dibilang rasa Jogya asli alias jaman dahulu. Solo tidak punya banyak destinasi tapi bukan berarti tidak menarik untuk dijelajahi.
 
Dari Jogya ke Solo kita bisa naik kereta api Pramex (bukan obat sakit kepala seperti bayanganku di awal tapi Prambanan Expres), ongkosnya hanya Rp. 8.000 - dengan lama perjalanan kurang lebih 2 jam. Tiba di Stasiun Solo akan banyak taksi dan tukang becak yang menawarkan jasa angkutan. Tepat di depan stasiun Solo ada halte Bus Trans  Batik Solo yang melewati berbagai rute khusus kota Solo. 
 
Dari stasiun kita menuju Pasar Klewer menggunakan ojek online, selain lebih cepat juga lebih murah. Pasar Klewer terdiri dari 3-4 lantai namun tidak semuanya terisi. Sebagian besar pedagang berjualan batik mulai dari souvenir dari batik, pakaian batik sampai kain bahan batik yang dijual permeter. Pasar Klewer pernah mengalami kebakaran besar beberapa tahun silam. Tak ayal koleksi batik di Pasar Klewer mungkin tidak sebanyak sebelumnya. Harga Batik/Kain di Pasar Klewer diklaim lebih murah dari harga di pasar lainnya termasuk Jogya.Aku sendiri membeli ransel batik seharga Rp. 50.000 dan sepasang pakaian batik Rp 30.000-. 

Museum dan Keraton Solo
Tidak jauh dari Pasar Klewer kita bisa berjalan kaki sekitar 10 menit menuju Museum Surakarta dan Keraton Surakarta/Solo. Harga tiketnya Rp. 10.000. Museum Solo terbagi menjadi beberapa ruangan penyimpanan. Barang2 nya pun cukup banyak dan disimpan dalam lemari2 besar namun kacanya cenderung kusam. Barang - barang di museum ini terlihat antik dan memiliki nilai sejarah masa kesultanan yang tinggi namun sayangnya keterangan yang terdapat di masing - masing barang sangat minim. Kesan tua sangat terasa ketika memasuki museum ini, mungkin dikarenakan arsitektur dan pencahayaannya. Bila dikelola dengan baik, aku yakin museum Solo akan banyak sekali peminatnya.

Sebelum pintu keluar museum kita diarahkan ke pintu masuk keraton. Memasuki pelataran keraton kita akan melihat beberapa pengunjung yang melepas sepatu/alas kaki. Pasir di lingkungan keraton berasal dari gunung merapi yang dipercaya membawa berkah. Tak heran ada peraturan yang melarang pengunjung  untuk mengambil pasir yang ada diwilayah keraton. Pengunjung hanya diperbolehkan memasuki halaman keraton sedangkan untuk balai dan teras keraton sendiri dilarang. Tapi tenang, halaman keraton sangat asri karena banyak ditumbuhi pepohonan besar nan rindang.


Dari Museum dan Keraton kita beranjak ke Pasar Triwindu. Pasar Triwindu terletak di Jalan Pangeran Diponegoro agak jauh dari museum dan keraton. Sepanjang sisi jalan menuju Pasar Triwindu ada bangku taman yang didesain dengan menarik ditambah lampu dan beberapa lukisan/mural. Mungkin suasananya akan bertambah romantis jika di malam hari. Pasar Triwindu menjual berbagai macam barang antik dari segala jenis sampai segala bahan. Kebanyakan bercorak barang antik khas Jawa. Selain unik pasar ini juga romantik, memancing rasa tentang masa lalu. Mungkin kisah tak terdengar tapi barang - barang tersebut seperti bersuara, "aku punya kisah masa lalu". yeah, dan ini bagian yang menurutku "ndalem" selama perjalanan.

Menjelang sore, ketika di Solo jangan lupa mampir di Taman Balekambang, letaknya tak jauh dari stasiun Solo Balapan. Taman Balekambang sangat asri, yang cukup mengganggu  Taman ini membuatku terpana dengan rusanya yang berkeliaran bebas. Jika sebelumnya di kampus USU atau istana bogor kita hanya melihat rusa dari kejauhan dibatasi pagar, tidak dengan disini. Kamu bisa berinteraksi langsung dengan rusanya yang jinak. Hahahha.. Rasanya aku bahagia sekali saat itu..
Love it..

Kamis, 22 Juni 2017

Review Buku "Panggilan Tanah Air"

REVIEW BUKU
Penulis : Noer Fauzy Rachman
Judul Buku : Panggilan Tanah Air
Penerbit : Prakarsa Desa, 2015
Halaman : 122
 
PANGGILAN TANAH AIR
 
“Panggilan Tanah Air” buku karangan Noer Fauzy Rachman atau yang biasa disapa dengan Mas Oji membawa kita kepada kenangan masa lampau tentang pemaknaan tanah air, kajian kritis mengenai kondisi sosial ekonomi ekologis yang terjadi di tanah air serta panggilan jiwa/cita – cita tanah air. Buku ini dibagi dalam 6 (enam) bab dan beberapa lampiran yang memperkaya referensi kita mengenai persoalan – persoalan agraria - tanah air yang ternyata sebelumnya sudah dibahas oleh para founding fathers tanah air kita.
 
Pada kata pembuka kita akan dihadapkan kepada sebuah pertanyaan dan pernyataan kritis mengenai pasar dalam pandangan kita secara umum dan proses terbentuknya pasar yang dibaliknya selalu dilatarbelakangi oleh konflik dan operasi kekerasan untuk menyingkirkan masyarakat/rakyat agar terlepas dari kepemilikan/ikatannya terhadap tanah airnya. Dan pada akhirnya ada sebagian rakyat yang menyerah, bertahan atau melawan karena tidak bisa lagi hidup dari tanah, sumber daya alam dan layanan alam lainnya yang telah dikapling – kapling oleh para kapitalis atas legitimasi ‘pemerintah’. 
 
Masalah – masalah agraria sebenarnya sudah pernah dibahas pada masa Reformasi dengan adanya Ketetapan MPR RI No. IX/MPRRI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang diklasifikasikan menjadi tiga golongan yakni ; ketimpangan (terkonsentrasinya) penguasaan tanah dan sumber daya alam di tangan segelintir perusahaan, konflik – konflik agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang meletus disana- sini dan tidak ada penyelesaiannya serta kerusaan ekologis/alam yang parah. Namun sayangnya, masalah - masalah ini tidak diperhatikan dengan serius oleh para pejabat negeri ini kecuali hal lain mengenai izin – izin usaha/perpanjangan usaha lainnya.
 
Buku ini juga memaparkan bagaimana terjadinya konversi/alih fungsi lahan yang yang berlangsung secara massif baik itu dari lahan pertanian menjadi perkebunan, pertambangan, atau kawasan industri lainnya yang biasa disebut dengan istilah deagrarianization (Bryceson 1996) . Perubahan/peralihan tersebut tentu saja mengakibatkan perubahan ekologi sosial atau gaya hidup yang baru yakni gaya hidup perkotaan (urban modernity) yang juga menarik perhatian kaum muda desa untuk bekerja di perkotaan dan tanpa sadar berperilaku konsumtif sebagai proses bentukan media dan pengabaian pemerintah terhadap kebijakan pertanian yang dianggap ‘tidak menjanjikan’ penghidupan yang layak dan justru sebaliknya memfasilitasi para perusak lingkungan yang berlindung di balik kata ‘investor’. 
 
Selain itu penulis juga menjelaskan mengenai upaya – upaya atau proses ekspansi produksi kapitalis dalam melakukan reorganisasi ruang yang kita pahami sebagai gambaran, grand design, tempat kita hidup/ruang untuk memanfaatkan, memodifikasi atau justru melenyapkan ruang tersebut sesuai kebutuhan/kepentingan akumulasi modal para kapitalis salah satunya dengan deregulasi, liberalisasi dan privatisasi tanah, air atau sumber daya alam lainnya. 
 
Menurut penulis, kapitalisme sendiri bukanlah sebuah kata yang baru bagi bangsa Indonesia karena sebelumnya sudah lebih dahulu dibahas oleh para pendiri bangsa kita yakni Ir. Soekarno dalam bukunya Indonesia Menggugat (1930), Mentjapai Indonesia Merdeka (1933), Tan Malaka, Naar de’Republiek – Indonesia’ (1925) dan Mohammad Hatta, Ke Arah Indonesia Merdeka (1932) .
 
Sebuah hal yang paling menarik dari buku ini menurut saya adalah penulis mencoba membawa kita kepada tonggak sejarah penting yang sangat mempengaruhi perubahan kebijakan agraria tanah air dimana penulis menyampaikan bahwa pada masa awal kemerdekaan, arah politik agraria adalah menghilangkan sisa – sisa feodalisme dan kolonialisme dengan sistem ekonomi nasional yang berdiri atas prisip pasal 33 ayat 3 “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat” serta kebijakan land reform yang fokus terhadap pembatasan penguasaan tanah – tanah pertanian rakyat, melarang penguasaan tanah swapraja dan tanah – tanah guntai, redistribusi tanah – tanah negara dan redistribusi bagi hasil. 
 
Namun terjadinya peralihan kekuasaan yang berdarah – darah (kudeta merangkak) dengan tragedi 1965 – 1966 menggeser agenda land reform yang semula untuk mewujudkan keadilan agraria berubah menjadi perebutan kekuasaan atas tanah, air dan sumber daya alam lainnya. Di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto (Orde Baru), pemerintahan kembali memberlakukan azas domein yang pernah dilaksanakan oleh pemerintahan kolonial sebelumnya dimana badan – badan pemerintahan pusat melakukan pengkaplingan tanah air untuk konsesi pertambangan, kehutanan, perkebunan, dan mengeluarkan paksa penduduk yang hidup dalam konsesi itu. 
 
Pada praktiknya, dalam sejarah politik agraria pada masa Hindia – Belanda, azas domein negara merupakan klaim bahwa setiap tanah yang (hutan) yan tidak dapat dibuktikan adanya hak kepemilikan pribadi maka menjadi domain pemerintah. Pemberlakuan pernyataan domein ini merupakan sebuah cara agar perusahaan – perusahaan dari negara – negara eropa dapat memperoleh hak – hak pemanfaatan yang eksklusif atas tanah/wilayah di tanah jajahan.
 
Sebagai kata penutup, Hengko Sangkoyo memberikan sebuah panduan bagi kita untuk dapat mengenali dan menangani krisis sosial ekologis melalui pemahaman atas tiga golongan masalah yakni keselamatan dan kesejahteraan rakyat, keutuhan fungsi – fungsi faal ruang hidup, dan produktivitas rakyat.
 
Melalui buku dengan tebal 122 halaman ini, penulis juga mengajak kita semua, terkhusus pemuda – pemudi Indonesia untuk kembali “membumi” menjadi pandu tanah air karena panggilan menjadi pandu tanah air adalah sebuah panggilan ideologis sesuai dengan lagu kebangsaan kita Indonesia Raya (versi asal) serta dasar persatuan kita pada Kongres Pemuda 1928 (Kemauan, Sejarah, Bahasa, Hukum Adat, Pendidikan dan Kepanduan) . Mari kembali “Membumi” .

Oleh ; Reni Andriani