Sekolah
Itu Candu, sebenarnya lebih mengingatkan saya kepada kata – kata sakti Marx ;
Agama itu Candu (stop sampai disini :D). Meskipun tipis, buku ini mengulas
banyak hal tentang sekolah, baik sejarah sekolah, contoh – contoh sekolah dan
makna sekolah itu sendiri. Dimulai dari kata sekolah yang secara harfiah
berasal dari bahasa Latin schule; yang
artinya waktu luang. Pada awalnya orang - orang yang telah mendahului kita (Yunani Kuno) mengisi waktu luang dengan mendatangi suatu
tempat atau orang pandai tertentu untuk
bertanya atau mempelajari sesuatu, yang kemudian kegiatan itu disebut dengan schole ; sekolah.
Bukan bab,
buku ini terbagi menjadi 14 bagian yang memiliki cerita dan makna yang berbeda,
mulai dari perubahan sekolah yang lambat laun menjadi tersekat dan berjenjang,
pergeseran orientasi dunia pendidikan/sekolah (lewat komersialisasi), sampai
kepada politisasi pendidikan. Akibatnya sekolah justru menjauhkan kita dari
ruang hidup kita (kampung/tanah air) dan membutakan kita dari dunia (kenyataan)
yang sebenarnya.
Misalnya
pada bagian 8 “Robohnya Sekolah Rakyat Kami”, bagian ini menceritakan tentang sekolah
rakyat yang terletak di ujung utara kaki pegunungan latimojong, Sulawesi
Selatan pada tahun 1983. Pada awalnya, bangunan sekolah tersebut berbentuk
setengah melingkar mirip letter U dengan lapangan luas ditengahnya. Lantai bangunannya
terbuat dari campuran semen - pasir, berdinding papan, separuhnya lagi anyaman
kulit pelepah sagu, dan beratap daun sagu yang telah dianyam. Setiap hari sabtu
(Hari Krida) anak – anak akan kerja
bakti untuk memotong rumput, menanami kebun, membersihkan selokan, memperbaiki
pagar dan sebagainya.
Tiap empat
bulan sekali (kuartalan) sehabis ujian anak – anak, guru dan para orang tua
akan masuk ke hutan untuk mengumpulkan kayu, pelepah sagu dan daun sagu untuk
dianyam. Dinding dan atap bangunan sekolah dibongkar dan diganti dengan yang
baru. Semuanya dilakukan secara gotong royong dan bergiliran. Begitupun ketika
masa panen raya tiba (tiap enam bulan sekali) baik panen jagung maupun padi
sawah/ladang, anak – anak akan disebar oleh sekolah ke ladang, kebun dan sawah
penduduk untuk membantu pemanenan. Hasilnya ya untuk anak – anak itu sendiri,
dan terkadang sekolah mendapatkan sedikit sumbangan dari pemilik lahan yang
nantinya akan digunakan ketika ada acara rekreasi sekolah.
Beberapa
tahun kemudian, sekolah itu dirobohkan berganti dengan gedung sekolah permanen.
Anak – anak pun mulai menggunakan seragam sekolah, bersepatu kulit, dan
menggunakan alat tulis yang semuanya bikinan pabrik bukan lagi batu – tulis
yang diasah sendiri. Hari Krida ditiadakan karena sudah ada tukang sapu-kebun
yang diupah sekolah, musim panen diganti dengan kegiatan kepramukaan.
Seperti
kata Freire, pendidikan/sekolah menjadi alat yang ampuh untuk menciptakan apa
yang disebut “disinherited masses” atau khalayak yang tercerabut dari akarnya.
Yang pada akhirnya pendidikan/sekolah menjadi milik dan alat kekuatan raksasa
dengan label pembangunan dan modernisasi. Sekolah bukan hanya mengajarkan
bagaimana merampok habis sumber daya kebendaan komunal yang dimiliki dan sudah
berabad dilestarikan tetapi juga mengajarkan bagaimana menjarah sumberdaya
kerohanian pribadi dan kolektif orang – orang kampung (baik itu pikiran, perasaan,
martabat, kesadaran maupun harga diri mereka)!
Meskipun
ditulis pada tahun 80 - 90an, buku ini masih sangat relevan untuk dibaca
sebagai bahan renungan dan refleksi terkait dunia pendidikan terutama institusi
sekolah yang belakangan menjadi salah satu tolak ukur dalam kehidupan. Apakah
kita benar – benar membutuhkan sekolah?
Akhir kata, Harap Maklum
menjadi pembuka yang unik dari Pak Toto Rahardjo.